SMA NEGERI 1 BATAM


Guru pembimbing:
Ibu Ella Septri Armila N S.Pd.,M.H

Kelompok 3 X IIS 1, Sejarah Peminatan

Anggota Kelompok:
1. Adzra Afifah
2. Andraw Mario
3. Ayu Dyah Chaerani 
4. Fani Novrianti
5. Jacinda Maheswari
6. Muhammad Irfan
7. Nico Jonatan
8. Putri Khairana
9. Srininta Febriyana
10. William Monza



SEJARAH MASJID PENYENGAT


Pulau Penyengat merupakan sebuah pulau kecil yang terletak di dekat Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau. Pulau penyengat terkenal akan objek wisatanya yang kental dengan sejarah perkembangan budaya melayu. Salah satunya adalah Masjid Raya Sultan Riau.

Masjid Raya Sultan Riau atau Masjid Sultan Riau merupakan salah satu masjid tua dan bersejarah di Indonesia yang berada di pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Masjid ini sangat unik karena proses pembuatannya menggunakan putih telur sebagai perekatnya yang dikumpulkan oleh masyarakat. Masjid Sultan Riau ini sudah dijadikan situs cagar budaya oleh pemerintah Republik Indonesia.

A. Latar Belakang Pembangunan Masjid Raya Sultan Riau


Pada dasarnya, masjid dibangun semata-mata untuk sarana beribadah umat muslim. Sama halnya dengan Masjid Raya Sultan Riau ini. Latar belakang dibangunnya masjid ini adalah karena kebutuhan.

Pulau penyengat merupakan pulau yang dihuni oleh masyarakat muslim, dan pada saat itu belum ada masjid sebagai sarana beribadah, sehingga dibangunlah sebuah masjid berupa bangunan kayu sederhana berlantai batu bata yang hanya dilengkapi dengan sebuah menara setinggi lebih kurang 6 meter pada tahun 1761 – 1812 M. 

Lalu, seiring berkembangnya waktu, Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman, Sultan Kerajaan Riau-Linggga pada 1831-1844 M, berinisiatif untuk mengembangkan masjid ini menjadi lebih besar dimana peristiwa ini terjadi pada tanggal 1 Syawal 1248 Hijriah (1832 Masehi), yaitu bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Hal ini dikarenakan, jumlah jemaah masjid tersebut semakin banyak dan masjid tersebut sudah tidak memadai lagi.

Masjid Raya Sultan Riau sendiri mulai dibangun ketika Pulau Penyengat dijadikan sebagai tempat tinggal Engku Puteri Raja Hamidah, ia merupakan istri dari penguasa Riau pada saat itu, Sultan Mahmudsyah. 

B. Sejarah Pembangunan Masjid Raya Sultan Riau


Pelaksanaan pembangunan masjid ini dilakukan secara swadaya dan melibatkan seluruh penduduk Pulau Penyengat hingga penduduk di kawasan Kepulauan Riau. Pada saat itu, Sultan Abdurrahman berseru kepada seluruh rakyatnya untuk beramal dan bergotong-royong di jalan Allah. Panggilan tersebut ternyata telah menggerakkan hati seluruh warga untuk berkontribusi pada pembangunan masjid tersebut.

Mereka menyumbangkan bahan material, bahan makanan, dan tenaga. Proses pembangunan masjid tersebut pun menjadi lebih cepat selesai. Terbukti, fondasi setinggi sekitar 3 meter dapat selesai hanya dalam waktu 3 minggu.

Pada saat itu, salah satu bahan makanan yang paling banyak disumbangkan adalah telur. Dari sana para pekerja merasa bosan karena setiap harinya mereka makan telur, hingga yang dimakan hanya kuning telurnya saja. Karena menyayangkan banyaknya putih telur yang terbuang sia-sia, sang arsitek memanfaatkannya sebagai bahan bangunan. Sisa-sisa putih telur itu kemudian digunakan sebagai bahan perekat, dicampur dengan pasir dan kapur. Ternyata putih telur tersebut berhasil menjadi perekat yang kokoh hingga menjadi bangunan masjid yang indah seperti sekarang.

Berdasarkan cerita turun temurun, konon arsitek perancang Masjid Penyengat adalah seorang keturunan India yang bermukim di Singapura yang tidak jauh dari Pulau Penyengat. Itulah sebabnya bangunan masjid ini tampak megah seperti istana-istana raja di India. Seperti atap ruang utama masjid yang sangat unik, menunjukkan adanya pengaruh India.

Warna masjid yang dominan adalah warna kuning dan warna hijau. Dalam tradisi Melayu biasanya warna kuning dipakai untuk segala sesuatu berkaitan dengan kerajaan atau kesultanan, sedangkan warna hijau biasanya identik dengan hal yang berbau islam.

Masjid Raya Sultan Riau didominasi oleh warna kuning dan hijau

C. Spesifikasi dan Arsitektur Masjid Raya Sultan Riau


Masjid dengan ketebalan dinding 50 cm ini memiliki luas lahan sekitar 54,4 x 32,2 meter dengan bangunan induknya berukuran 29,3 x 19,5 meter. Lantai bangunannya tersusun dari batu bata yang terbuat dari tanah liat.

Masjid ini terletak di sebuah pelataran, mungkin dulu tanah masjid Penyengat ini merupakan bukit yang diratakan. Tinggi tanahnya sekitar 3 meter dari permukaan jalan, untuk naik dibuat tangga yang cukup tinggi.

Tangga di pintu masuk masjid

Dalam kompleks masjid, dari tangga hingga mihrab, terdapat unit bangunan yang terpisah-pisah. Masing-masing dalam posisi simetris. Dari tangga, terdapat jalan setapak pada sumbu tengah dari unit bangunan simteris tersebut.

Di halaman masjid sebelah kiri dan kanan, masing-masing terdapat unit berdinding beratap limasan batu. Kedua unit kembar disebut dalam bahasa setempat sotoh (Rumah Sotoh) yang diperuntukkan bagi musafir dan sebagai tempat bermusyawarah majelis ta'lim diantara ulama dan cendikiawan serta mempelajari ilmu agama. Beberapa ulama terkenal Riau pada masa itu, seperti Syekh Ahmad Jabrati, Syekh Arsyad Banjar, Syekh Ismail, dan Haji Shahabuddin pernah mengajarkan ilmu agama di tempat ini.

Rumah Sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat menyelenggarakan musyawarah

Selain itu terdapat juga unit kembar yang masing-masing bersumbu segi empat panjang, sisi terpanjangnya searah dengan kiblat, kedua unit ini terlihat seperti gardu tetapi besar dan panjang, tak berdinding, mempunyai kolong, yang berkonstruksi kayu.

Bangunan tempat wudhu terletak di sisi utara dan selatan bangunan masjid. Bangunan utama masjid berdenah segi empat terbuat dari beton dengan pintu masuk utama di sisi timur, dan pintu lain di sisi utara dan selatan.

Pintu utama masuk masjid berada di tengah, menjorok ke depan seperti beranda (Porch) dan diatapi kubah. Terdapat empat buah menara yang bentuknya seperti bawang. Di belakang masjid, terdapat makam keluarga Sultan. Kubahnya berjumlah 17 buah sesuai dengan jumlah rakaat shalat lima waktu.

D. Keunikan Masjid Raya Sultan Riau
Salah satu keunikan bangunan masjid ini kedap suara dan dapat meredam gema jika berada di dalamnya. Keunikan lain dari Masjid Raya Sultan Riau adalah di dalam masjid ini tersimpan mushaf Al-quran yang diletakkan di dalam peti kaca di depan pintu masuk yang ditulis tangan oleh Abdurrahman Stambul pada tahun 1876 M.

Abdurrahman Stambul sendiri merupakan penduduk biasa di Pulau Penyengat yang dikirim oleh Kerajaan Lingga ke Istanbul, Turki, untuk memperdalam ilmu agama Islam. Begitu kembali, dia menjadi guru dan terkenal dengan Khat atau kaligrafi gaya Istanbul. Ia menulis Mushaf bergaya Istambul ini di sela-sela kegiatannya mengajar agama Islam di Pulau Penyengat.

Mushaf Al-Qur'an

Sebenarnya ada dua Mushaf Al-quran tulis tangan yang disimpan di Masjid Sultan Riau. Namun, Mushaf lainnya yang tidak diketahui siapa penulisnya ini sudah rapuh sehingga disimpan saja, tidak diperlihatkan untuk umum. Usianya lebih tua dibanding mushaf yang satunya karena dibuat pada tahun 1752 M. Di bingkai mushaf ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Al-quran. Hal ini mengindikasikan bahwa orang-orang Melayu tidak hanya menulis ulang mushaf, tetapi juga mencoba menerjemahkannya.

Mushaf ini tersimpan bersama sekitar 300-an kitab di dalam dua lemari yang berada di sayap kanan depan masjid. Kita-kitab tersebut adalah sisa-sisa kitab yang dapat diselamatkan dari perpustakaan Kerajaan Riau Lingga, saat terjadi eksodus besar-besaran masyarakat Riau ke Singapura dan Johor pada awal abad ke-20 karena kecamuk perang melawan penjajah Belanda.

Selain itu, terdapat mimbar masjid yang terbuat dari kayu jati yang dibawa langsung dari Jepara. Sebenarnya ada dua mimbar yang dipesan waktu itu, yang satu adalah mimbar yang diletakkan di Masjid Sultan Riau ini, sedangkan yang satunya lagi, yang berukuran lebih kecil, diletakkan di masjid di daerah Daik Lingga.

Mimbar Masjid Raya Sultan Riau

Di dekat mimbar Masjid Raya Sultan Riau ini, ada pula sepiring pasir dari tanah Mekkah di dekat mimbar yang dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua, bangsawan Riau pertama yang menunaikan ibadah haji, yaitu pada tahun 1820 M.

Masjid ini memiliki tujuh pintu, enam jendela, dan beberapa bangunan penunjang, seperti tempat wudhu, rumah sotoh, dan balai tempat melakukan musyawarah. Bangunan tempat mengambil air wudhu berada di sebelah kanan dan kiri masjid. Sedangkan rumah sotoh dan balai tempat pertemuan berada di bagian kanan dan kiri halaman depan masjid.

Sejak dibangun tahun 1832 M masjid dengan bangunan beton ini merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang masih utuh dan tidak pernah di renovasi atau diubah bentuknya. Bahkan, hingga kini masjid ini masih digunakan oleh warga untuk beribadah.

E. Pengaruh Terhadap Masyarakat Sekitar
Selain sebagai sarana beribadah, masjid ini memiliki beberapa pengaruh lain bagi masyarakat sekitar. Salah satunya yaitu menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat setempat di berbagai sektor, seperti:
  1. Transportasi: Tersedianya kesempatan baru bagi masyarakat untuk menyediakan jasa angkutan berupa becak motor bagi para wisatawan untuk mengililingi seluruh obyek wisata di Pulau Penyengat. Selain itu, juga terdapat jasa angkutan laut berupa perahu pompong untuk mengantarkan wisatawan dari Tanjung Pinang ke Pulau Penyengat.
  2. Kuliner: Tumbuh suburnya berbagai warung-warung makan yang menyediakan makanan khas Tanjung Pinang ataupun seafood dan lain sebagainya untuk memanjakan para wisatawan.
  3. Kerajinan: Masyarakat bisa membuat dan menjual berbagai jenis kerajinan sebagai cenderamata/oleh-oleh dari Pulau Penyengat.
E. Kesimpulan
Masjid Raya Sultan Riau merupakan Masjid yang dibangun secara swadaya dengan menggunakan putih telur yang dikumpulkan dari masyarakat pada tahun 1832 M. Masjid ini dibangun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat akan ibadah dan masjid ini merupakan salah satu peninggalan budaya melayu yang unik dan wajib kita jaga kelestariannya.

Beberapa peninggalan yang terdapat di masjid ini yaitu, mushaf Al-quran, mimbar masjid, sepiring pasir dari tanah Mekkah, dan lain-lainnya. Di halaman masjid ini terdapat unit bangunan yang terpisah-pisah, beberapa diantaranya yaitu rumah sotoh dan dua unit balai tempat melakukan musyawarah. Selain itu, masjid ini juga merupakan salah satu tujuan wisata religi yang ada di Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau.

G. Daftar Pustaka

Komentar